
AMBAE.co.id – Takalar. Kepala Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan (Disbudpar) Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), Muhammad Jufri menyampaikan bahwa masyarakat Sulsel menjunjung tinggi adat istiadat dan nilai budaya yang ada. Tercermin dari ragam kegiatan yang kental akan kebudayaan, masih dan terus menyatu dalam kehidupan bermasyarakat.
Demikian halnya pelayanan pemerintahan kepada masyarakat mengadopsi nilai budaya yang telah diimplementasikan sejak lama. Bagaimana nilai sipakainge (saling mengingatkan), sipakalebi (saling menghargai), dan sipakatau (saling menghormati agar apa yang menjadi hak dan kewajiban dapat terpenuhi dengan baik.
“Masyarakat desa di Sulawesi Selatan memiliki pedoman hidup yang menjadi akar dari budaya yaitu Sipakainge, sipakalebi, dan sipakatau. Ini menunjukkan kepada dunia bahwa budaya daerah memperkuat budaya bangsa dan berketahanan dari segala gangguan dan pengaruh buruk,” kata Jufri pada Kamis (28/10/21).
Jufri mewakili Plt Gubernur Sulsel, Andi Sudirman Sulaiman menghadiri Lokakarya di Dusun Ta’buncini, Desa Galesong, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar. Falsafah orang Bugis yang biasa disebut Budaya 3S itu menjadi inti paparan Plt Gubernur Sulsel yang dibacakannya.
Sejalan dengan nilai-nilai dan penghayatan dari 5 sila yang ada dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Desa Galesong sendiri terpilih sebagai Desa Pancasila dan Konstitusi bersama dengan 3 desa lainnya di Indonesia.
Kampung Wasur, desa yang ada di Kecamatan Merauke, Kota Merauke, Provinsi Papua. Desa Bangbang di Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali serta Nagari Pasia Laweh, desa yang terletak di Kecamatan Palupuh, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat.
“Sebuah kebanggaan bagi Provinsi Sulawesi Selatan dengan terpilihnya Desa Galesong, dikukuhkan sebagai Desa Pancasila dan Konstitusi. Desa Pancasila dan Konstitusi ini memiliki keunggulan, potensi, kekuatan dan modal sosio-kultural untuk diarahkan dan dikembangkan menjadi desa yang warganya memiliki kesadaran berkonstitusi,” tambah Jufri.
Masyarakat sendiri sudah familiar dengan Mahkamah Konstitusi. Lembaga itu dapat dengan mudah dijadikan ruang untuk mengadukan sebuah permasalahan di tengah masyarakat.
“Mahkamah Konstitusi sudah sangat familiar bagi masyarakat saat ini, karena apabila masyarakat merasa hak haknya konstitusionalnya dilanggar oleh tindakan penguasa dapat mengajukan perkaranya ke Mahkamah Konstitusi,” kata dia.
Sejumlah permasalahan yang kerap terjadi di lingkungan desa di Sulsel diantaranya konflik Pemilihan Kepala Desa, permasalah data pemilih, sengketa kepemilikan tanah keluarga dan tanah adat. Perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat, dan maraknya dibentuk lembaga adat di berbagai desa pada Kabupaten/Kota yang tidak memiliki legalitas.
Pemerintah Provinsi Sulsel kata Jufri, terus berupaya mengoptimalkan sistem pemerintahan yang baik menuju masyarakat beradab, beradat, dan berkonstitusi. Desa Galesong ini diharapkan menjadi motor lahirnya Desa Pancasila dan Konstitusi lainnya di Sulsel.
Diketahui Desa Galesong ditetapkan menjadi Desa Konstitusi pada 2012 silam oleh Ketua Mahmakah Konstitusi saat itu, Prof Mahfud MD. Harmonisasi masyarakat di desa itu mampu meminimalisir sebuah permasalahan sampai ke meja hijau.
Balla Barakka yang berdiri megah di Desa Galesong, merupakan binaan Prof Amiruddin Salle, tersimpan beberapa peninggalan sejarah diantaranya keris dan sejumlah benda pusaka lainnya, juga terdapat tulisan lontara yang memuat pesan leluhur. Bukan sekedar simbolik tentunya, namun diharapkan mewadahi pelestarian warisan budaya terutama dalam hal penyelesaian masalah secara adat.
Usai lokakarya, Jufri kepada AMBAE mengatakan, harus ada Balla Barakka lainnya ke depan. Optimisme itu merujuk pada ragam budaya yang ada di Sulsel, bukan saja dimiliki masyarakat Takalar.
“Kebudayaan kita sangat kompleks, nilai-nilai adat istiadat ini harus kita jaga dan lestarikan. Kalau semua permasalahan dapat diselesaikan dengan cara adat, beradab, dan tidak harus ke pengadilan, Saya kira ini sangat luar biasa, sekaligus membantu kerja-kerja pemerintah dan juga meringankan tugas aparat penegak hukum di negara kita tercinta, Indonesia,” tutupnya.
Lokakarya yang berlangsung sejak Rabu kemarin, 27 Oktober akan berakhir pada 29 Oktober. Terlaksana berkat kerja sama antara Mahkamah Konstitusi dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. (*)