AMBAE.co.id – Maros. Hj Liestiaty F Nurdin selaku Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Sulawesi Selatan (SulSel) menghadiri Puncak Perayaan Hari Jadi Maros yang ke-61 yang dipusatkan di Gedung Serba Guna, Kelurahan Pettuadae, Kecamatan Turikale, Kabupaten Maros, Sabtu (04/07/20).
Lies bertandang ke acara tersebut bersama sang Suami yakni HM Nurdin Abdullah. Tak lain adalah Gubernur SulSel untuk Periode 2018-2023.
“Iya, bersama Bapak (Gubernur SulSel), kami memenuhi undangan Pemkab Maros. Hari ini merayakan Hari Jadi Maros ke-61 tahun”, ungkapnya.
Saat itu, Lies mengenakan baju bodo bersama dengan beberapa tamu undangan. Diantaranya Isteri Bupati Maros, Hj Suraida Hatta yang juga sebagai Ketua PKK Kabupaten Maros.
Baju bodo dikenakan Lies berwarna jambon atau merah muda. Dalam falsafah adat Bugis, penggunaan warna baju bodo diklasifikasikan berdasarkan usia yang kemudian menggambarkan kedudukan atau martabat pemakai baju bodo.
Warna merah muda kerap dikenakan gadis remaja. Membuat Lies tampak lebih muda meski usianya kini sudah di angka 56 tahun.
Sementara untuk bawahan (pakaian bagian bawah), Lies memadukannya dengan Lipa’ Sabbe. Berupa sarung berbahan dasar benang sutera, mencolok dengan sulaman benang emas di sekitar corak simetris pada sarung.
Penggunaan baju bodo bagi Lies, tidak terlepas dari kecintaannya terhadap warisan budaya nenek moyang. Diketahui Lies merupakan anak seorang Mantan Rektor Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar yang ke-8 yakni Prof Dr Fachruddin.
Sekaligus punya garis keturunan langsung dari Pahlawan Nasional, Pangeran Diponegoro. Sedangkan Nurdin, keturunan bangsawan atau Karaeng dari Kerajaan Bantaeng.
“Kalau bukan kita yang mencontohkan kepada masyarakat untuk memakai baju bodo dan lipa’ sabbe, anak cucu kita nanti tambah melupakannya. Kita kan punya banyak budaya yang harus dilestarikan”, ujarnya.
Selain suka mengenakan baju bodo, Lies juga dikenal aktif membina para Pelaku UMKM sejak dirinya menjabat Ketua PKK Kabupaten Bantaeng sekitar 12 tahun silam. Dalam berbagai kesempatan mengikut sertakan Pengrajin mengikuti festival serta mengenalkan produknya hingga ke luar negeri.
Lanjutnya, saat ini pakaian adat khas khususnya Bugis dan Makassar di SulSel itu telah direvitalisasi menjadi pakaian moderen. Bukan saja dari penggunaan warnanya yang mengalami sedikit pergeseran karena kebutuhan, namun juga dalam hal penerapan baju bodo itu sendiri.
“Dulu kan, baju bodo tidak pakai dalaman. Sama juga warnanya, mereka yang pakai warna merah, orang sudah bisa tahu kalau dia itu masih gadis, ada juga yang warnanya jingga untuk perempuan yang lebih muda lagi”, terangnya.
Baju bodo jambon Lies dipadu padankan dalaman dengan warna senada, namun sedikit lebih tua, warnanya mendekati merah. Menutupi dada, perut hingga lengan, menyempurnakan baju bodo yang berbahan kain muslin tipis dan transparan.
Pada sisi atas, dia mengenakan jilbab berwarna jambon pula. Sehingga semakin menambah keanggunan Lies dalam balutan busana muslim yang menutupi kepala, telinga hingga bagian lehernya yang juga disebut aurat perempuan.
Pandangan tertuju padanya sejak tiba di lokasi acara. Ditambah lagi, face shield atau pelindung wajah berbahan plastik mika transparan yang dikenakanannya membuat orang masih bisa menatap wajah cantiknya.
“Ini memudahkan ya. Karena ini masih pandemi COVID-19, kita pakai pelindung wajah, apalagi ini lumayan banyak orang, tapi kita juga bisa pakai masker agar tetap aman”, pungkasnya. (*)