AMBAE.co.id – Bantaeng. Di tengah maraknya pembicaraan mengenai plastik yang diduga semakin memenuhi lautan, muncul berbagai gagasan untuk menggantikan media plastik sebagai wadah dengan media lebih ramah lingkungan.
Di wilayah pedalaman Kabupaten Bantaeng telah lama dikenal penggunaan “Kamboti” oleh masyarakat setempat. Salah satunya di Kecamatan Ulu Ere, satu desa bernama Bonto Marannu yang oleh masyarakat perkotaan mencapnya dengan istilah “Tau Raya ri Loka” atau Orang Di atas di Loka mengingat ada dusun Loka di desa itu yang secara geografis berada di dataran tinggi.
Kamboti masih sangat kental digunakan sebagian besar masyarakat khususnya warga Non Milenial. Berbeda dengan mereka yang sudah terkontaminasi gaya dan budaya kebarat-baratan sudah akrab dengan plastik seperti Kantongan Kresek.
Padahal Kamboti yang dibuat dari anyaman daun kelapa, enau, lontar atau sejenisnya lebih kuat dan lebih tahan dengan beban yang relatif over untuk ukuran kantongan kresek.
Di satu sisi, Pemerintah Kabupaten Bantaeng mempelopori sebagai daerah pertama dari 24 Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan (SulSel) yang intens memaksimalkan penggunaan media pengganti plastik untuk mengurangi plastik sekali pakai pada setiap kegiatan. Termasuk penggunaan thumbler atau wadah air minum isi ulang serta galon yang disertai dispencer wajib disiapkan saat acara.
Himbauan itu kemudian ditegaskan dan dinaikkan statusnya menjadi wajib oleh Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Bantaeng, Hj Sri Dewi Yanti kepada seluruh masyarakat Bantaeng yang mana sebelumnya penegasan serupa diawali dari Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi SulSel, Hj Liestiaty F Nurdin kepada seluruh jajaran PKK Kabupaten/Kota di SulSel.
Melalui tulisan ini, AMBAE berharap Kamboti mendapat perhatian serius pihak Pemerintah untuk menjadikannya sebagai salah satu produk kreatif di masyarakat khususnya para pelaku UKM. Pemerintah harus hadir mendukung dan memfasilitasi pengrajin Kamboti agar bisa kembali membudaya di seluruh wilayah Kabupaten Bantaeng bukan hanya di Loka saja.
Malah sedapat mungkin menasional sebagai produk warisan yang lebih enteng digunakan ketimbang kantongan pakai ulang yang gencar disosialisasikan dan dijual di market-market. Demikian produk serupa dari daerah lain di Indonesia karena negeri ini maha kaya dengan beragam produk kerajinan tangan.
Kamboti punya kelebihan lainnya dibanding kantongan kresek. Tak hanya mampu menahan beban berat, juga bisa bertahan lama meski harus berhadapan dengan cuaca panas dan dingin.
Kalaupun suatu saat kotor karena pernah menempatkan belanjaan ikan misalnya ke dalam Kamboti, cukup dicuci dengan air ataupun ekstra dioleskan deterjen lalu dibilas, dijamin Kamboti ini bisa kembali cemerlang untuk ditempati beragam belanjaan para Emak-emak (Ibu-ibu) saat ke pasar.
Lalu keterlibatan Pemerintah dan kaitannya dengan pengrajin terhadap Kamboti, lagi-lagi sangat dibutuhkan. Era milenial dan faktor gengsi menghadang popularitas dan eksistensi Kamboti bagi banyak kalangan.
Bisa jadi Kamboti dibuat lebih cantik dengan teknik anyaman kreatif, ditambah dengan bahan sama ramahnya terhadap lingkungan dari daun enau serta metode pengemasan atau tampilan Kamboti yang semakin variatif karena dibubuhi aksesoris nan cantik lagi fashionable.
Ayo kita tinggalkan Kantongan Kresek, minimal berupaya meminimalisir penggunaannya sejak sekarang demi kelangsungan hidup bumi yang terus menua dan rusak karena ulah manusia. Jadikan Kamboti satu alternatif pengganti plastik.
Terlebih saat ingin menempatkan takjil hasil buruan kita. Dengan Kamboti takjil yang rentan tumpah pun bisa aman dengan wadah Kamboti karena dialasnya relatif datar atau rata. (*)